PEMIKIRAN ASWAJA
Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Pembentukan faham ASWAJA
Memahami Aswaja Sebagai manhaj al-fikr (Cara
Pandang/Ediologi)
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup
yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren,
madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan,
khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari
amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan
ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja
itu sendiri.
Secara umum aswaja adalah ajaran yang mengikuti Rasulullah SAW, melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, mujdtahiddin, dan imam mazhab. Hal tersebut sesungguhnya sudah kita lakukan dalam kehidupn sehari-hari, pada dasarnya aswaja berisi tentang ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf dll yang sering kita lakukan namun secara terminologi kita belum memahaminya secara mendalam.
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap. Pertama, masa imbreonal pemikiran suni dalam bidang teologi yang mana memilih salah satu pendapat yang paling benar. Pada tahap ini boleh dibilang masih pada tahab konsulidasi dan tokoh penggeraknya adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kemudian yang kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Beberapa frinsip dasar yang harus dipegang teguh apabila aswaja
sebagai manhaj al-fikr yaitu prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral),
ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang
hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan
(ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan social, cara
bergaul dalam kondisi social budaya masyarakat.
• Internalisasi aswaja melalui sekolah aswaja
Kalau kita pahami aswaja sebagai manhaj al-fikr (Cara
Pandang/Ediologi) tentang islam. Maka sangat perlu untuk memberikan pemahaman
mendasar tentang aswaja bukan pada sejarah maupun teori. Namun yang mendasar
untuk difahami adalah substansi/isi aswaja itu sendiri seperti apa.
2. Metode Pemikiran Aswaja
Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai
sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya
dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan
dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari
pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana
penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang
tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam
agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang
dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream
Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.
Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan
(konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya
menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun
secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah
ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari
panggung kehidupan materialistik.[2]
Sebagai bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam
ini, adalah dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup
nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang aktualisasi
gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar, pelatihan dan
lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari mulai yang paling kanan
sampai yang paling kiri, dari yang paling fundamentalis sampai yang
liberal. Seluruhnya membentuk siklus pencerahan yang berangkat dari misi
mengembalikan Islam sebagai sebuah agama yang mampu menjadi solusi masa kini
dan juga masa depan, dan nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari
sumber otentik al-kitab dan sunnah.
Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan
untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara
apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus
dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang
komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan
memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati
kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang
dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini
sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia
juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring
Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja
kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu
bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha
luas.
Aswaja dan Klaim Keselamatan
Munculnya Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari
kondisi sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad
ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi
dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat
marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun
pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian
dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak,
dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping
pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai
persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual
Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) aswaja
sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.
Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian
tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan
tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw.
Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka
langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah yang menjadikan para
sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun
dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan
mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun
perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu,
meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan
oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus
faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan
dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang
bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.
Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal
sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam
Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang
bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang
tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh
Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.[3]
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan
akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah
golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal
ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan
akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa
yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.[4]
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam
yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah
umat Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah,
Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian
hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya
Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah
atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki
oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam,
khususnya dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di
tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama.
Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau
as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) lebih memahami
redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara
harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan
kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas mencapai 72 kelompok dan
hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir
al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti
menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang
banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.
Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang
istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang
munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada.
Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang
digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7
pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya;
tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang
tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah
(terbatas angka tertera).[5]
Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya
sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari
testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah
satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam
akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan
Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang
selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6] Sementara
sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang
selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang
seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup
Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat.
Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim
sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang
selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah
yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah
Waljamaah ketimbang yang lainnya. [7]
Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada
salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau
didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah,
Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau
kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi.
Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah
atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada
kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.
Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam
as-Shahrastani:”Jika kebenaranan dalam persoalan aqliyat (rasional)
berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada
satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok
tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini
selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan
syariat yang dimiliki oleh Islam.
Aswaja-NU: Sebuah Pengenalan Singkat
Adapun Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh
kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal
sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya
pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi
keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan
pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun
1926 M.
Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal
juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat
lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri
untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah
kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran
Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah
dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk
bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan
bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain.
Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan
paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal
Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang
dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam
da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut,
tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap
kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur
Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap
ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus
berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola
keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman
agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat
dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu
sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul(mata
rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama
yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh
’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan
demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif
terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum
dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian
juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan
mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung
maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai
dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.
Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai
berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah
mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti
Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya
merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan
berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU
berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya,
warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem
bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah
Waljamaah. [9]
Di luar pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj
memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan,
dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara
proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan
hanyalah sebuah manhaj al-fikr(cara berpikir tertentu) yang digariskan
oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik
ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah
Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari
realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[10]
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan
terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan)
saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini
juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi
keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi
paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi
dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy
Munkar(menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[11]
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas
dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif
terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan
keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan
musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena
keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad
al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan
fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah
golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan
atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala
al-dlalalah”(umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat
diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam,
lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena
NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan
tidak ekstrem.
ASWAJA dan Problematika Kemanusiaan Masa Depan
Ideologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit
bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini
perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran
teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu
sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak
atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini
akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula
dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.
Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun
kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan
Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun
itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang
ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup
yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi
dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para
pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib
baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan
pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap
jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan
pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan
bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Mengingat tantangan kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi
agenda prioritas (pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali
makna dan tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja
dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas
kesejarahan manusia yang hakiki.
Dari peta sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar
pesoalan manusia modern adalah penemuan kembali sistem makna yang dapat
membebaskan dirinya dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam
pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi
dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.
Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan
kekuatannya, atau humanistic Theology. Manusia harus dapat
mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami dirinya, hubungannya dengan
sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia harus mengenal kebenaran, dengan
melihat pada keterbatasan maupun potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa
cinta pada orang lain maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada
semua kehidupan. Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan
tujuannya sendiri.
Upaya menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya
menghindari dari teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan
sebagai persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor
interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya
kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang
bagaimana.”
Dalam persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak
pada ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya dalam
konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari semua ikatan
ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi, pembebasan dari semua
struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang cenderung menjadi determinan
bagi kemerdekaan manusia.
Dalam diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami
reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi sejenis
yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik. Artinya, Tuhan
digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup manusia.
Agaknya persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi
kalangan Aswaja ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan
rancang bangun teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang
dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan
terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu
pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran
baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode berpikir (manhaj
al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan
melalui metode berkarya(manhaj al-‘amal). Dengan metode berkarya inilah Aswaja
akan dirasakan manfaatnya, karena keberadaannya tidak lagi mengawang di langit,
namun telah bersenyawa dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas
yang dinamik.
Penutup
Demikian pengantar tentang Aswaja dan pergulatannya dengan kondisi
kemunculannya dahulu dan perannya di masa kini. Semoga dapat menambah
wawasan rekan-rekan para peserta pelatihan. Yang penulis paparkan hanyalah
sebatas garis besarnya saja, dan hampir tidak menyebutkan secara rinci
pokok-pokok pikiran dan gagasan Aswaja baik dalam ruang lingkup teologi klasik
maupun dalam institusi NU. Karena hal tersebut dapat sangat mudah kita temukan
dalam banyak literatur yang ada. Ibarat peta, yang penulis ketengahkan hanya
sebatas jalan-jalan besarnya saja, adapun gang, jalan tikus, dan sungai serta
selokannya tidak menjadi sorotan penulis. Semoga diskusi tentang Aswaja secara
lebih lengkap dan kontekstual dapat terus berlanjut.
The Casino Near Bryson City, Bryson City NJ - Mapyro
BalasHapusThe 세종특별자치 출장샵 Casino 보령 출장샵 at Bryson City is 제주 출장샵 located about 5 minutes' drive from Bryson City Casino and just a short 군산 출장샵 drive from Bryson City Casino. 파주 출장마사지