Kamis, 24 Maret 2011

NIKAH

MAKALAH INI DIBUAT UNTUK PARA MAHASISWA TARBIYAH YANG SEDANG MEMBUTUHKAN MATERI TENTANG BAB NIKAH
SAYA PUN KECEWA SETELAH CAPE MENCARI REFERENSI DAN MAKALAH BERES TERNYATA KE POTONG HUJAN ALHASIL PERJUANGAN GADANG SEMALEM SIA-SIA MUDAH-MUDAHAN DENGAN ADANYA MAKALAH INI TIDAK SAMPAI SEPERTI SAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu sunnatullah terhadap makhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan serta tumbuh-tumbuhan.
Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti apa yang ada pada kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan menentukan beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara kemuliaan dan menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i yang menjadikan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan serta kasih sayang.
Sehingga bisa menyalurkan syahwatnya dengan cara benar, menjaga keturunan dari kerancuan dan juga sebagai penjagaan bagi wanita agar tidak dijadikan sebagai mainan bagi setiap orang yang menjamahnya.
Dalam Pernikahan ada yang disebut Perjanjian Pernikahan. Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam perkawinan dikenal adanya perjanjian perkawinan yang sering kali dibacakan oleh calon suami setelah akad nikah, yakni adanya perjanjian ta’lik talak. Perjanjian lainnya yang sering dilakukan adalah perjanjian tentang harta bersama.
Menurut hukum Islam pergaulan antara laki-laki dan perempuan melakukan pergaulan suami istri sebelum nikah itu tidak dibolehkan, kecuali sesudah melakukan akad nikah, ijab dan kabul. Sebab itu semata-mata perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan atau pertunangan antara pemuda dan pemudi, belum membolehkan bergaulan antara keduanya sebagai suami istri seperti tinggal satu kamar.
Hanya pergaulan itu dapat dilakukan sesudah akad nikah, ijab dan kabul. Meskipun belum mengadakan pesta perkawinan, karena pesta perkawinan hanya sunat semata-mata, bukan jadi syarat untuk sahnya perkawinan.
Adapun pergaulan bebas dikalangan remaja, saat ini mencampakan pandangan tentang zina. Akibatnya banyak wanita yang hamil diluar nikah. Tentu keadaan ini tidak dibiarkan begitu saja, bagi orang yang tidak bertanggung jawab akan mengambil jalan mengaborsinya, sedangkan orang yang bertanggung jawab dia akan menikahi wanita tersebut.
Maka dari itu dengan realitas dan penjelasan diatas kami kelompok pertama ingin membahas apa itu nikah dilihat dari aspek Pengertian, Hukum, Tujuan, dan Syarat-syaratnya, supaya kita bisa lebih menyederhanakan dan lebih bisa di pahami apa itu “NIKAH” yang sesuai dengan syari’at Islam, agar kita dapat menjadi hamba Allah yang taat dan memenuhi sunnatullah. Amien
1.2. TUJUAN
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk menjelaskan pengertian, hukum, rukun, dan syarat nikah. Serta memberikan penjelasan agar pembaca lebih dapat memahami makna dari pernikahan.
1.3. PEMBATASAN MASALAH
1. Pengertian Nikah
2. Keutamaan Menikah
3. Hukum Menikah
4. Syarat-syarat menikah
1.4. Manfaat Penulisan
1. Secara teoritis, dapat menambah pengetahuan dan mempunyai patokan dalam diri dalam menghadapi pernikahan
2. Diharapkan bagi semua pembaca bisa lebih memaknai akan pernikahan yang sesuai dengan syari’at islam.
1.5. Kajian teori
Pada penyusunan makalah ini menggunakan buku sumber baik itu kitab klasik ataupun buku bacaan, dan sumber dari beberapa Ust, Dan Ulama, serta dari media komunikasi internet

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Nikah
Kata نكاح (nikah) berasal dari bahasa Arab نكاح – ينكح – نك حاونكح, yang secara etimologi berarti : التزوج (menikah); الاختلاط bercampur); dalam bahasa Arab, lafadh “nikah” bermakna العقد (berakad), ااوطء (bersetubuh) dan (bersenang-senang)1.
Al-Qur’an menggunakan kata “nikah” yang mempunyai makna “perkawinan”, disamping –secara majazi (metaphoric)- diartikan dengan “hubungan seks”. Selain itu juga menggunkan kata زوج dari asal kata الزوج yang berarti “pasangan” untuk makna nikah. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. 2
secara lugawi (bahasa) : nikah berarti bersenggama atau bercampur, bersetubu, akad
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Maka dari pengerian diatas bahwa nikah akan sah dengan akad. Suami memili hak untuk memiliki, namun hak milik itu hanya bersifat milik al-itifa (milik utnuk menggunkan), bukan milik al-muqarabah (hak milik yang bisa dipindahtangankan seperti kepemilikan benda). Dan bukan pula milik al-manfa’ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindahkan).
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli Fiqh, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya (phraseologie) saja. Dalam pengertian lain, secara etimologi pengertian nikah adalah:
1. Menurut ulama Hanafiyah, nikah adalah:
الكاح عقد يفيد ملك المتعلة قصدا
Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan 2. Menurut ulama asy-Syafi‘iyah, nikah adalah:
الكاح عقد يتضمن ملك وطء بلفظء انكاح اوتزويج اومعناهماا
Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.
3. Menurut ulama Malikiyah, nikah} adalah:
الكاح عقد علي مجرد متعلة التلذ ذ باد ميلة.
Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.
4. Menurut ulama Hanabilah, nikah adalah:
الكاح عقد بلفظ انكح اوتزويج علي منفعة الاستمتاع
Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang. Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah (perkawinan) telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut.
Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang
Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah: Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Bunyi pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
3 Abdul Basit Mutawally, Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t), hlm. 120.
4 ‘Abd ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-’Arba‘ah, cet. ke-1 (Beirut: Dar alFikr, 2002), IV: 3.
5 Abdul Basit Mutawally, Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t), hlm. 120.

2. Keutamaan Menikah:
Menikah termasuk dari sunnah yang paling ditekankan oleh setiap Rasul, dan juga termasuk dari sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
1- Allah berfirman:
 ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون 
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (Ar-Ruum: 21)
2- Firman Allah:
 ولقد أرسلنا رسلاً من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذرية .. 
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan .." (Ar-Ra'd: 38)
3- Berkata Abdullah bin Mas'ud r.a: suatu ketika kami beberapa orang pemuda sedang bersama Nabi SAW dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, berkatalah kepada kami Rasulullah SAW:
" يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء" وتفق عليه
"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa, karena itu merupakan benteng baginya" Muttafaq Alaihi
3. Hukum Nikah
hukum menikah itu sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukan tadi,jadi hukum nikah itu dapat di klasifikasikan sebagai berikut
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang pada kondisi pelakunya :
Wajib, yaitu apabila orang yang hendak menikah telah mampu sedang ia tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina
Sunnah, yaitu mana kala orang yang hendak menikah menginginkan sekali punya anak, tetapi ia mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat menikah atau belum, walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan terlantar.
Mubah, yaitu apabila orang yang hendak menikah belum berminat punya anak, juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina. padahal ia menikah sunnahnya terlantar. Atau bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan / alasan mengharamkan menikah.
Makruh, yaitu apabila orang yang hendak menikah belum berminat punya anak juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina padahal ia menikah sunnahnya terlantar. (bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan istrinya).
Haram, yaitu bagi orang yang apabila ia kawin justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan nafkah bathin atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang diharamkan ALLAH walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan ia mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina.padahal bahwa hukum menikah tersebut juga berlaku bagi kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan,bahwa bagi wanita hukum menikah itu wajib,apabila ia tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri sedangkan jalan satu-satunya untuk menanggulangi adalah menikah.
4. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
4.1. TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
4.1. TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar dan apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
4.3. TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
4.4. TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslimdan nonmuslim
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21).
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An-Nahl: 72
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi).
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral. Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
5. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
6. RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-’arba’ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al-ijab dan Al-qabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya.[1]. Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’, rukun nikah terdiri dari Al-ijab danAl-qabul sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.
Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. MenurutSyafiiyyah meliht syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, danSighat. Jelaslah para ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dan rukun adalah :
1. shighat (ijab-kabul)
2. kedua calon mempelai
3. wali
4. saksi
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Dalam hadis nabi :
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل
Yang artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal. (HR. Ibnu Hiban)
Syarat-syarat wali :
1. Islam
2. Sudah baligh
3. Berakal sehat
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
7. Sedang tidak melakukan ihram.
Yang diprioritaskan menjadi wali:
1. Bapak.
2. Kakek dari jalur Bapak
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki tunggal bapak
5. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-lakisekandung)
6. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7. Paman dari jalur bapak
8. Sepupu laki-laki anak paman
9. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.

Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.
وعن سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.
Wali dapat di pindah oleh hakim bila:
Jika terjadi pertentangan antar wali.
Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.
Berdasarkan hadis nabi:
ثلاث لا يؤخرن. وهن: الصلاة اذا اتت, والجنازة اذا حضرت, والايم اذا وجدت كفؤا (رواه البيهقي و غيره عن علي)
Pasal 20 ayat 1 menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim.
Pada pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerbat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.
Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.[7]
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Dan ulama’ jumhur berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
Dalam KHI pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari nabi SAW bersabda:
لا نكاح الا بشاهدي عدل وولي مرشد
Dan sahabat tidak berselisih faham tentang hal itu.
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a). Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b). ‘Adil
c). Dapat mendengar dan melihat.
d). Tidak dipaksa.
e). Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f). Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar
Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
- Islam telah mengangkat kedudukan wanita dan memberinya hak untuk bisa memiliki, mewajibkan untuknya mahar ketika menikah, dengan menjadikan hal tersebut sebuah hak baginya dari laki-laki sebagai tanda kemuliaan baginya; keagungan untuk dirinya serta perasaan akan keberhargaannya, sebagai pengganti bagi dia yang mencumbuinya, mengharumkan dirinya serta keridhoannya terhadap bimbingan laki-laki terhadapnya.
Allah berfirman:
 وآتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شيء منه نفسًا فكلوه هنيئا مريئا 
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagian pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya" (An-Nisaa: 4).
- Mahar merupakan sebuah hak bagi wanita, wajib bagi laki-laki untuk memberikan kepadanya untuk menghalalkan kemaluannya, dan tidak halal bagi siapapun untuk mengambil sedikitpun darinya kecuali dengan ridhonya, khusus untuk ayahnya dibolehkan mengambil dari mahar tersebut apa-apa yang sekiranya tidak akan merugikannya dan tidak pula diperlukan olehnya, walau tanpa idzin darinya.
- Ukuran mahar bagi seorang wanita:
Dianjurkan bagi seorang wanita untuk meringankan maharnya, , karena sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan. Mahar jika terlalu besar akan menjadi penyebab kemurkaan seorang suami terhadap isterinya. Bahkan dia akan menjadi haram jika telah mencapai derajat berlebih-lebihan dan menjadi sebuah kebanggaan, sehingga memberatkan suami dengan berhutang dan meminta karenanya.
عن أبي سلمة رضي الله عنه أنه سأل عائشة رضي الله عنها: كم كان صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قالت: كان صداقه لأزواجه ثنتَي عشرة أوقية ونشّا, قالت: أتدري ما النشّ؟ قال: قلت: لا. قالت: نصف أوقية فتلك خمسمائة درهم فهذا صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم لأزواجه. أخرجه مسلم
Bahwasanya Abu Salamah bertanya kepada Aisyah r.a: berapa banyakkah mahar yang dibayarkan oleh Rasulullah SAW? dia menjawab: mahar beliau terhadap isteri-isterinya sebesar sepuluh uqiyyah dan nassya, bertanya Aisyah: tahukah kamu apa itu nassya? Aku menjawab: tidak. Dia berkata: setengah uqiyyah, jadi jumlah seluruhnya limaratus dirham, itulah mahar yang Rasulullah SAW berikan kepada isteri-isterinya. (H.R Muslim) .
- Pada waktu itu mahar yang diberikan Nabi SAW kepada para isterinya limaratus dirham, untuk sekarang kira-kira menyamai (140) Riyal Saudi. Sedangkan mahar putri-putri beliau sebesar empatratus dirham, untuk sekarang kira-kira menyamai (110) Riyal Saudi, dan bagi kita Rasulullah SAW merupakan suri tauladan dalam kebaikan dengan memperhatikan perbedaan jaman, harga dan nilai barang.
- Segala sesuatu yang berharga bisa dijadikan mahar, walaupun murah, tidak ada batas bagi besarnya mahar. Laki-laki miskin boleh membayar mahar dengan sesuatu yang bermanfaat, seperti mengajarkan Al-Qur'an, menjadi pelayan dan lainnya. Boleh juga bagi seorang laki untuk memerdekakan budak perempuannya lalu menjadikan kemerdekaan tersebut sebagai mahar dan menjadikannya isteri.
- Dianjurkan agar mahar disegerakan, namun dia boleh diakhrikan, atau dengan membayar sebagiannya dengan segera, lalu sisanya diakhirkan. Jika dalam akad nikah tidak disebutkan jumlah mahar, pernikahan tetap sah dan dia wajib membayar mahar yang besarnya sama dengan mahar yang memasyarakat disana, akan tetapi jika keduanya saling bersepakat, walaupun atas sesuatu yang sedikit, pernikahannya tetap sah.
- Jika seorang ayah menikahkan putrinya dengan mahar yang sesuai, atau lebih sedikit ataupun lebih banyak, sah nikahnya. Hanya dengan akad saja mahar itu menjadi milik putri tadi, dan akan menjadi milik dia sepenuhnya setelah dipertemukan dan berduaan dengan suaminya.
- Apabila seorang suami meninggal setelah akad nikah tetapi belum berjima’ (bersetubuh) dengan isterinya dan juga belum menyebutkan jumlah mahar, maka mempelai wanita berhak untuk mendapat mahar yang sesuai dengan besarnya apa yang didapat oleh wanita sekitarnya, dia langsung melaksanakan iddah dan berhak atas harta warisan.
- Diwajibkan untuk menerima mahar yang sesuai dengan kebiasaan daerah setempat bagi wanita yang disetubuhi dengan pernikahan yang tidak sah, seperti ketika dijadikan isteri kelima, dinikahi masih dalam iddahnya, digauli yang disebabkan oleh sesuatu yang syubhat dan lainnya.
- Apabila terjadi perselisihan diantara pasangan suami-isteri dalam jumlah ataupun jenis mahar, maka yang dipegang adalah ucapan suami setelah dia bersumpah, akan tetapi jika perselisihan tersebut dalam permasalahan sudah menerima ataupun belumnya mahar, maka yang dipegang adalah perkataan isteri selama tidak terdapat bukti dari kedua belah fihak.


















BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Hukum Nikah Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (baca: Sunnatullah) merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai ikatan yang sangat kokoh. Maka dari itu dianjurkan bagi umatnya sebagai suatu implementasi pelaksanaan sunah Rasul dengan tanpa melupakan rukun dan syarat syah. Dan rukun pernikahan itu adalah:
1. Ijab dan Qabul
2. Calon suami
3. Calon istri
4. Wali
5. Saksi (dua orang)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
3.2. SARAN
Bagi Para pembaca yang semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Beegitu teramat besar pahala dan kanrunia dari hikmah pernikahan, semoga dengan adanya makalah ini akan membuka pikiran kita pernikahan adalah ladang ibadah. Sesuai dengan hadis nabi. Al-Hadis :
Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya.
Kamu adalah orang-orang yang mengatakan begini dan begitu, demi Allah Aku adalah yang paling takut dan takwa kepada Allah di antara kamu, tetapi aku puasa, aku berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku mengawini wanita. Barang siapa yang berpaling dari sunnahku, maka ia tidak termasuk umatku.
Kami sadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk bahan peljaran di kemudian kelak.





































REFERENSI
Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fikih Wanita. terj. Abdul Ghoffar Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2002

Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqh ‘Ala Madzahib al-’Arba’ah. Mesir: Al-Maktab At-Tijariyyati Al-Qubra

UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Citra Umbara

Yusmar, EM. Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya. Kediri: Pustaka ‘Azm

Nurudin, Amirudin dan Azhari Kamal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004

Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002

Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007

Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002.

Kitab “Qurratul ‘Uyun” Syaih Muhammad al-Tahami bin Madani ditulis ulang oleh Syaih Qasim bin Ahmad bin Musa bin Yamun ,yang di tulis dalam bentuk Nadham (Syair).

Kitab “UQUUDU LUJAIN FII BAYAANI HUQUUQUZZAUJAINI”

www. Google.com
Posted on by Berbagi Bersama Agus | 1 comment

1 komentar:

  1. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat,

    gunakan waktu sebaik mungkin, jangan kecewa seperti saya hehehe

    BalasHapus