Integrasi Keorganisasian dan Kaderisasi yang Kuat
“Hulu – Hilir”, Memilih Hulu
Beberapa saat setelah muktamar PBNU, saya bertemu KH. Aziz Masyhuri, mantan Ketua Umum Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah (RMI). Banyak pengalaman dan semangat yang bisa saya ambil, hingga ada sesuatu yang mengusik saya. Beliau berkata: “Saya sudah aktif di NU sejak tahun 1975. Manajemen organisasi NU yang ada sekarang rasanya masih seperti yang dulu. Dulu saya berpikir, mungkin ini sebab sedikitnya pengurus NU yang sarjana. Sekarang, setelah banyak sarjana, sepertinya tidak ada perubahan”.
Selama ini PMII yang telah mensuplai banyak SDM untuk NU. Secara tidak langsung, PMII lah yang sedang dibicarakan oleh Kiai Sepuh tersebut. Sebagai anak muda, cerita tersebut tentu membantu daya refleksi kita sepanjang lintasan waktu tersebut. Dalam logika “budaya organisasi”, sebenarnya penataan organisasi NU kelak akan tergantung pada penataan PMII saat ini. Kesamaan tersebut disebabkan adanya korelasi antara hulu dan hilir. Permasalahan “budaya organisasi” yang ada di PMII sebagai hulu, akan teralirkan ke NU sebagai hilirnya.
Jika diajukan pertanyaan, mana yang lebih utama “memperbaiki hulu atau hilir?” maka saya memilih “hulu”. Sebab, hulu sungai yang jernih akan lebih menjamin pasokan air bersih yang melimpah ke hilirnya. Sebaliknya, memperbaiki hilir sungai hanya akan menghabiskan banyak energi. Bukan berarti kita hendak menafikan hilir, tapi perbaikan yang strategis hanya bisa dilakukan di “hulu”. Di situlah posisi strategis PMII yang perlu disadari dan ditempatkan oleh semua kader PMII.
Mengidentifikasi Core Masalah
PMII adalah organisasi kader. Tentu, capaian idealnya adalah terbentuknya “budaya organisasi” yang lahir dari spirit kaderisasi. Suatu budaya yang hanya akan terbentuk apabila nilai-nilai kaderisasi dipraktekkan, bukan hanya dibaca atau dihafal. Sebaliknya, jika budaya organisasi terbentuk dari “selain” spirit kaderisasi, maka itulah “masalah sesungguhnya”. Pengalaman saya, selama berkeliling dari cabang ke cabang, keluhannya hampir sama. Adanya dominasi “hasrat kekuasaan” yang berkembang seringkali berdampak destruktif. Hal tersebut disadari, tapi tidak bisa dihindari sebab semua kader adalah bagian dari aliran arus tersebut. Masing-masing harus menanamkan “doktrin” kekuasaan untuk membela diri. Akhirnya, terbentuklah “budaya organisasi” yang didominasi oleh hasrat kekuasaan tersebut.
Dampak negatifnya cukup banyak, khususnya di cabang-cabang yang “mahal” kader. Pertama, energi, pikiran, dan waktu produktif habis untuk konflik panjang dan turun temurun. Kedua, ketidaknyamanan berorganisasi menyebabkan banyak kader berhenti berproses di PMII. Ketiga, cara pandang kekuasaan menutup fungsi strategis PMII sebagai “hulu energi”. Memang banyak juga yang menganggap “biasa atau bangga” atas konflik kekuasaan. Akan tetapi, sejarah juga mencatat, keruntuhan kekhilafahan, dinasti, dan kerajaan Islam sebab perebutan kekuasaan.
Dengan membangkitkan “patriotisme” dalam kaderisasi, maka “hasrat kekuasaan” terkontrol, spirit kebersamaan terbangun, dan organisasi melaju dengan kencang. Saya perhatikan, PP GP Ansor dan PBNU berorientasi ke arah cara pandang tersebut. Model kaderisasi, struktur pengetahuan, bangunan sejarah “kemiliteran” NU yang di-film-kan dan dibukukan, serta “penandaan” situs sejarah Cibarusah dan Rengasdengklok adalah rangkaian dalam membangun “patriotisme” tersebut.
Dulu kami juga berpikir demikian. Bersama sejumlah sahabat “menginisiasi” pola pengkaderan yang membangkitkan “patriotisme”. Sejumlah alumni kaderisasi tersebut tersebar di banyak lini strategis, struktural maupun non struktural. Akan tetapi, “patriotisme” tersebut pada dasarkan akan “menemukan ruang” saat adanya ancaman bersama yang bisa dirasakan. Pada saat situasi stabil, seorang kader yang sudah dididik dengan “patriotisme” pun bisa kembali ke dalam “watak dasar” lingkungan yang sudah terbentuk. Pada saat itulah kita harus menyadari bahwa organisasi kita sebenarnya digerakkan oleh dua bandul energi, yaitu “bandul” kaderisasi dan “bandul” kekuasaan.
Menyusun puzzle, meletakkan “bandul kekuasaan” sebagai pendorong
Hasrat kekuasaan tidak “haram” dan diperlukan. Tetapi, penataan sebagai organisasi kader harus segera dilakukan. Jika tidak terselesaikan, “budaya organisasi” tersebut akan terbawa hingga “hilir”.
Dalam konteks ini, kami mengibaratkannya sebagai sebuah puzzle. Masalah penempatan yang tidak tepat saja yang menjadikannya tidak pas dan merusak. Dalam ajaran Islam, hasrat kekuasaan perlu dikontrol. Agama mewajibkan adanya kepemimpinan, tapi juga mencela “hubbul jâh wa hubbur ri’âsah”. Jika spirit agama ini ditempatkan hanya sebagai “nasehat” rasanya tidak akan optimal. Sebab, nasehat bersifat tidak mengikat, padahal dampaknya adalah pasti dan sistemik.
Jika melihat tradisi yang sudah berjalan, bandul kekuasaan dan bandul kaderisasi ini berjalan secara terpisah. Bandul kekuasaan tidak boleh mendominasi, tapi juga sulit dikendalikan. Kami tetap berpikir positif, hasrat kekuasaan yang besar tersebut harus diolah sebagai energi kaderisasi. Caranya, hak suara pada pemilihan jabatan kekuasaan didasarkan pada “capaian kaderisasi” suatu periode. Misalnya, dalam sebuah konfercab, kuota suara tiap komisariat ditentukan oleh perolehan kader dalam MAPABA. Kesepakatan bisa dibangun di antara masing-masing komisariat, seperti per 5 kader 1 delegasi dan seterusnya.
Dengan langkah ini kita ingin membangun sistem dan kesadaran. Bahwa, siapapun yang ingin kekuasaan dia harus bekerja di arena kaderisasi. Semakin seorang berhasrat kekuasaan, dampaknya akan semakin bagus. Sebab, kerja untuk kaderisasinya semakin serius. Jika ini bisa dilaksanakan, minimal pada tingkat cabang saja, maka berbagai reformasi sebenarnya sedang kita jalankan.
Pertama, reformasi politik. Sistem yang fair tentu akan mempermudah cabang-cabang PMII terbebas konflik kekuasaan. Dengan sendirinya, cabang akan menjadi habitat yang nyaman untuk bersemainya kader-kader baru. Kedua, reformasi kaderisasi. Dengan menjadikan “person” kader sebagai cara pandang organisasi, maka pengawalan kader akan menjadi utama. Pengawalan kaderisasi ini dapat ditingkatkan dalam skala yang lebih detail seperti per 5 kader satu orang mentor dan seterusnya. Ketiga, reformasi administrasi. Tentu semua pengurus PMII mengerti daftar nama anggota itu penting. Setahu saya, bahkan sudah banyak kader yang membuat aplikasi online. Akan tetapi, pencatatan tersebut hanya sesaat dan terhenti. Dengan menjadikan capaian kaderisasi sebagai penentu hak suara dalam sebuah jabatan kekuasaan, maka administrasi akan rapi. Keempat, reformasi diplomasi. Keorganisasian yang tertata rapi akan memberikan modal berdiplomasi dengan berbagai kalangan, dalam dan luar negeri. Akhirnya, kita mampu menjamin pasokan air yang sehat dan berlimpah hingga hilir, Insyaâllah.
Oleh: Ahmad Nur Kholid